Memayu Hayuning Bawana
Memayu Hayuning Bawana
Wednesday, June 23, 2004
Onggosoro

Onggosoro, nama dusun di desa Giritengah, kecamatan Borobudur , Magelang. Nama dusun itu muncul kembali setelah semalam menyusun berkas data data penelitian dari proyek desa ekowisata di kabupaten Magelang tahun 2002 yang lalu. Ada yang menarik di dusun Onggosoro yang menurut saya itu merupakan kelebihan tersendiri dari dusun tersebut. Awal tahun 2002 saya ikut melibatkan diri sebagai volunteer di suatu proyek yang didanai JICA Japan kerjasama dengan salah satu LSM penggagas ekowisata di Indonesia. Saya ditugasi mengumpulkan data lapangan dan responden warga desa setempat. 2 teman saya di tempatkan di dusun onggosoro yang terletak di gugusan perbukitan Menoreh, sementara saya di tempatkan di dusun sambeng yang letaknya jauh dibawah Menoreh, di pinggiran Kali Progo. Yang membuat saya penasaran dengan dusun Onggoroso ketika teman teman bercerita bagaimana pedihnya perlakuan diskriminasi yang dialami warga dusun onggosoro dari warga dusun sekitarnya. Setelah tugas-tugas sebagai volunteer selesai saya bersama teman-teman satu tim berniat untuk beberapa hari tinggal di dusun Onggosoro, sekedar ingin tahu ada apa sebenarnya di dusun tersebut.
Letak dusun onggosoro sangat sulit di capai dengan kendaraan bermotor karena letaknya di tengah tengah perbukitan Menoreh sebelah selatan puncak Suralaya. Jalan kaki satu satunya alternative yang harus ditempuh. Karena belum paham letaknya, teman-teman menanyakan letak dusun tersebut kepada warga dusun yang kami lewati. Setiap kami bertanya dimana letak dusun Onggosoro kepada warga sekitar mereka selalu memandang sinis kepada saya dan teman-teman walaupun mereka (dengan setengah hati) akhirnya menunjukan letak dusun tersebut. Bahkan ketika saya sempat bertanya di salah satu dusun terakahir yang letaknya dibawah dusun Onggoroso, salah satu warganya sempat bekomentar,” Kersaninpun menapa Mas kok badhe sowan wonten Nggosoro (Onggosoro.Red)?”, saya jawab, “ Namung sowan mawon pak, badhe sowan wonten dalemipun Pak Kadus”. Kemudian Pak Tua itu berucap sesuatu yang membuat saya semakin penasaran ingin tahu keadaan dusun Onggosoro. “Cah enom saiki kok senengane neka-neka, Ngatos atos Mas wonten mrika Mas.Tiyang mrika meniko mboten kagungan agomo.” Sesampainya di dusun Onggosoro, kami sangat kagum dengan susunan rumah dan tata letaknya yang sangat rapi dan terkesan sangat teratur, berbeda sekali dengan dusun dusun yang kami lewati. Saya sempat berpikir, dimana keanehan yang sering di omongkan orang orang dari dusun lain. Saya justru merasakan kedamaian dan kesejukan yang tercipta dari suasana dusun dan kerapian yang ada begitu memasuki dusun Onggosoro. Kemudian kami disambut ramah oleh pak Kamidjan sang kepala dusun. Kami dipersilakan masuk ke rumah beliau. Rumah yang antik. Hiasan dindingnya gambar Bung Karno, sedangkan di dinding yang lain tertempel wayang orang dengan tokoh semar. Bersebelahan tokoh Semar terdapat silsilah raja-raja jawa yang ditulis dengan aksara jawa hanacaraka yang saya sendiri tidak paham isinya. Kehidupan di dusun Onggosoro sendiri sebenarnya tidak berbeda dengan dusun2 lainnya. Hanya saja jika diamati secara seksama mereka lebih tertib dalam pembagian waktu antara kerja dan kumpul dengan keluarga. Rupanya dusun Onggosoro seluruh warganya penganut aliran kejawen peninggalan Sri Sultan HB II,namun demikian mereka sangat percaya bahwa Tuhan YME itu ada, hanya saja cara dan ritual mereka berbeda dengan agama-agama yang di akui di RI. Bahkan menurut pemikiran saya mereka justru lebih bijaksana dalam menyikapi permasalahan yang ada sebagai penganut aliran kejawen daripada orang-orang yang katanya mengaku beragama yang diakui RI. Salah satu contohnya mereka bercocok tanam tanpa merusak alam dan lingkungan. Bagi mereka alam sama dengan manusia yang sama sama diciptakan Tuhan YME. Alam juga butuh kasih sayang dari semua elemen yang ada. Rusaknya alam merupakan symbol dari rusaknya moral manusia. Sebagai penganut aliran kepercayaan ( kejawen murni ) mereka tidak tiap hari beribadat. Mereka melakukan ibadah tiap malam jum’at yang biasa dilakukan secara berjamaah di suatu tempat ibadah yang mereka namakan pendopo pamenengan. Ritual ibadah mereka berupa kegiatan perenungan atau pamenengan dalam rangka eling kepada Tuhan Yang Maha Esa atas apa yang telah diberikan dan dosa2 yang telah di lakukan. Onggosoro selalu terbuka kepada siapa saja tanpa memandang latar belakangnya. Pak Kamidjan mempersilakan kami untuk melihat aktifitas ritual mereka. Bahkan mereka sangat terkesan terbuka kepada siapapun. Warga onggosoro percaya manusia memiliki persamaan kodrat. Warga onggsoro memang terkesan sangat ketat terhadap nilai dan norma-norma hidup tapi bukan berarti mereka menutup diri dari kemajuan masa. Mereka juga memahami dan memantau setiap perkembangan di Indonesia, baik politik,social budaya maupun teknologi. Tetapi mereka tidak lantas menyerap hal-hal tsb. Ini terbukti dari pengetahuan Pak Kamdijan ketika kami berbincang-bincang masalah yang melanda negri ini. Pak Kamidjan sangat tanggap akan hal-hal baru yang terjadi di ibukota saat itu.
Dari bincang-bincang dengan Pak Kamidjan, beliau bercerita tentang perlakuan yang diterimanya dari warga dusun-dusun yang lain. Warga onggosoro dianggap orang-orang yang tidak beradab karena tidak beragama, tapi justru mereka lebih beradab dari anggapan mereka. Salah satu perlakuan yang tidak menyenangkan diceritakan Pak Kamidjan setiap mereka beraktifitas di pasar untuk memasarkan hasil kebun mereka. Di pasar mereka selalu dijauhi di kucilkan sehingga hasil kebun mereka hampir tidak laku jika dijual di pasar Borobudur. Salah satu cara untuk tetap bisa bertahan hidup Pak Kamidjan dan warganya kadang-kadang harus menjual hasil kebun mereka ke pasar Kali Bawang, Kulon Progo. Saya sempat berpikir “ Edan adoh bianget lhe dodolan”.
Perlakuan yang lebih sadis pernah dialami Pak Kamidjan ketika ada rembug deso yang mengumpulkan seluruh kepala dusun di desa Giri Tengah. Di tengah perjalan menuju rumah Kepala Desa, Pak Kamidjan di hadang dan di keroyok oleh beberapa orang warga dengan maksud tidak boleh menghadiri acara tersebut karena dengan alasan diacara tersebut ada pengajiannya. Dengan perlakuan tersebut Pak Kamidjan hanya bisa terima tanpa ada dendam. Menurut Pak Kamidjan dendam tidak pernah menyelesaikan masalah. Justru akan semakin memperpanjang masalah yang seharusnya sudah selesai.
Saya sangat terharu dengan kesederhanaan hidup dan kesederhanaan mereka dalam menyikapi berbagai masalah yang menimpa. Bagi mereka, sudah bisa hidup pun mereka sangat bersyukur. Salah satu ungkapan rasa syukur mereka dalam menghargai hidup dengan menghormati, menghargai dan berbuat baik terhadap orang lain tanpa memandang segala-galanya. Setelah sempat menginap satu malam di Onggosoro, paginya saya dan teman-teman berpamitan kepada Pak Kamidjan dan keluarga serta warga dusun Onggosoro. Sebelum meninggalkan dusun, pak Kamidjan berkata kepada saya dan teman-teman untuk memintakan bantuan dari LSM tempat saya dan teman-teman melakukan penelitian. Pak Kamidjan hanya minta untuk bisa diusahakan bisa menjual hasil kebun mereka seperti warga dari desa dan dusun-dusun yang lain. Hal tersebut sudah saya sampaikan kepada Direktur LSM tersebut. Namun sampai saat ini saya belum mendengar kabar dan perkembangan dari permohonan tersebut karena saya sudah tidak aktif lagi di LSM tersebut. Ketika beberapa hari yang lalu saya sempat bertemu dengan rekan salah satu aktifis LSM tersebut saya sempat menanyakan bagaimana nasib warga Onggosoro saat ini, apakah sudah lebih baik. Rekan tersebut menjawab “Saya sudah menyampaikan hal tersebut ke ketua tapi entah sampai saat ini belum ada tindakan. Entahlah mengapa sang ketua lebih memilih mengurusi proyek-proyek yang birokratis tapi memang menghasilkan materi”. Saya sedikit kecewa. “Trus dimana fungsi kalian sebagai LSM ? apa cuma mencari keuntungan dari proyek proyek yang didanai pemerintah?
Dalam hati saya berucap “Saya telah berdosa tidak bisa membantu saudar-saudara saya di onggosoro“. Saya hanya bisa berdoa semoga mereka selalu diberi kelapangan dada dan kesabaran dalam menyikapi kehidupan.


posted by suket at 12:04 PM


Kagunganipun
Billy Atho
Jogjakarta
jogjaers@hotmail.com
YM : jogjaers

Nguda Rasa

Name :
Web URL :
Message :


Jape Methe


Kabar Lawas
07/07/2002 - 07/14/2002 07/20/2003 - 07/27/2003 07/27/2003 - 08/03/2003 08/03/2003 - 08/10/2003 08/17/2003 - 08/24/2003 08/24/2003 - 08/31/2003 08/31/2003 - 09/07/2003 09/07/2003 - 09/14/2003 09/14/2003 - 09/21/2003 09/21/2003 - 09/28/2003 09/28/2003 - 10/05/2003 10/05/2003 - 10/12/2003 10/12/2003 - 10/19/2003 10/19/2003 - 10/26/2003 10/26/2003 - 11/02/2003 11/02/2003 - 11/09/2003 11/16/2003 - 11/23/2003 11/30/2003 - 12/07/2003 12/07/2003 - 12/14/2003 12/21/2003 - 12/28/2003 12/28/2003 - 01/04/2004 01/18/2004 - 01/25/2004 02/08/2004 - 02/15/2004 03/07/2004 - 03/14/2004 03/28/2004 - 04/04/2004 04/04/2004 - 04/11/2004 04/18/2004 - 04/25/2004 05/02/2004 - 05/09/2004 05/23/2004 - 05/30/2004 06/20/2004 - 06/27/2004 07/11/2004 - 07/18/2004

Credits
miz Graphics
Blogger
Doneeh.Com